“Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan Hukum Nasional Indonesia”
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa
yang suci dan sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena perkawinan tidak
hanya menyangkut hubungan antara pribadi calon suami isteri, melainkan
menyangkut hubungan antara keluarga dan masyarakat.
Manusia dalam pergaulan hidup
masyarakat sangat membutuhkan atau adanya ketergantungan antara manusia dengan
yang lainnya. Hal ini disebabkan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang
tidak terlepas dari hubungan individu dengan individu lainnya, individu dengan
golongan masyarakat maupun golongan masyarakat dengan golongan masyarakat
lainnya. Dengan kehidupan yang saling bergantungan ini, maka kebutuhan jasmani
dan kebutuhan rohani manusia akan terpenuhi.
Perkawinan merupakan salah satu
sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk memperoleh keturunan. Keturunan
merupakan penerus keluarga. Dengan adanya perkawinan ini maka akan mengikat
hubungan antara pribadi suami isteri untuk membentuk suatu keluarga yang kekal
dan bahagia. Dalam budaya Asia, perkawinan akan mengikat hubungan antara
keluarga kedua belah pihak.
Di zaman globalisasi ini, kebutuhan
hidup masyarakat sangat meningkat. Kebutuhan yang meningkat ini membawa suatu
negara terbuka atau melakukan hubungan internasional dengan negara lain. Adanya
hubungan internasional ini telah membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Salah satunya adalah perkawinan. Yang lebih dikenal dengan perkawinan campuran.
Perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan) telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat.
Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan
yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah
perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat
berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena[1][1]. Perkawinan
campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara
lain. Dengan banyak terjadinya
perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam
perkawinan campuran ini diakomodir negara dengan baik dalam perundang-undangan
di Indonesia.
Perubahan undang-undang mengenai
kewarganegaraan (UU No 62 Tahun 1958 menjadi UU No 12 Tahun 2006)
ini membawa dampak positif dan negatif bagi setiap Warga Negara Indonesia yang
melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing. Dengan adanya perubahan ini
setiap WNI yang telah melakukan perkawinan dengan WNA harus cepat-cepat
berkoordinasi ke Indonesia.
Perubahan peraturan
lama menjadi peraturan baru ini membuat banyaknya WNI memiliki
dwi-kewarganegaraan. Dan tidak tertutup kemungkinan akan banyak terjadi
kejahatan dan melarikan diri ke negara pasangannya. Selain itu, proses
keimigrasian akan mengalami hambatan-hambatan yang akan menyebabkan
ketidakefektifan pihak imigrasi untuk melakukan tugasnya.
Undang-undang
kewarganegaraan yang baru ini, sangat ketat mengatur masalah kewarganegaraan
sehingga menimbulkan birokrasi yang sangat panjang. Yang akhirnya mengakibatkan
para WNI yang telah melakukan perkawinan sebelum UU No. 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan ini ditetapkan, lebih banyak memilih menjadi WNA. Mereka
memilih karena negara pasangannya lebih melindungi dan memberikan jaminan hidup
bagi keluarganya.
Berkaitan dengan
status hukum daan kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran, mengingat
diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2006 menimbulkan konsekuensi-konsekunesi yang
berbeda dengan pundang-undang yang terdahulu, di mana seorang anak sudah
terlanjur dilahirkan dari suatu perkawinan campuran[2][2].
Dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, menyebutkan bahwa:
“Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang kewarganegaraan oleh DPR Republik Indonesia, juga banyak membawa
dampak positif bagi para WNI yang telah menikah dengan WNA. Dalam UU No. 12
Tahun 2006 ini, mengenal adanya dwi-kewarganegaraan terbatas bagi anak yang
lahir dari perkawinan campuran. Sedangkan, UU No. 62 Tahun 1958 hanya mengenal
kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan anak hanya boleh mengikuti
kewarganegaraan ayah-nya. Hal ini, mengakibatkan pihak ibu tidak dapat
memperoleh hak asuh anak apabila terjadi perceraian.
Anak-anak yang belum dewasa dan tidak di bawah
kekuasaan orang tua harus ditaruh di bawah perwalian menurut sistem Burgerlijk
Wetboek[3][3]. Setelah pihak orang tua bercerai pun harus
diadakan persediaan mengenai perwalian dari anak-anak mereka yang masih di
bawah umur[4][4].
Pengaturan status dan kedudukan hukum anak dari
hasil perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) dalam undang-undang kewarganegaraan yang baru
memberi perubahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya.
Karena memberikan dwi-kewarganegaraan terbatas bagi anak dari hasil perkawinan
campuran (beda kewarganegaraan).
2.
Perumusan Masalah
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 12
Tahun 2006, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya
undang-undang ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan), berikut komparasinya terhadap undang-undang Kewarganegaraan
yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan) sebelum dan sesudah lahirnya undang-undang Kewarganegaraan
yang baru?
2.
Bagaimana
perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan) yang tidak tercatat?
3.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Menganalisis
status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran (beda kewarganegaraan)
sebelum dan sesudah lahirnya undang-undang Kewarganegaraan yang baru.
2.
Menganalisis
perlindungan hukum terhadap anak hasil perkawinan campuran (beda
kewarganegaraan) yang tidak tercatat?
4.
Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan diharapkan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Secara
teoritis, diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai status hukum anak
dari hasil perkawinan campuran ditinjau dari sebelum dan sesudah lahirnya UU
No. 12 Tahun 2006 serta perlindungan terhadap anak yang lahir dari perkawinan
campuran (beda kewarganegaraan) yang
tidak tercatat pada khususnya.
2. Secara
praktis, diharapkan penulisan makalah ini dapat memberikan sumbangan terhadap
permasalahan-permasalahan yang timbul dan dihadapi pasangan-pasangan suami
isteri dalam perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).
5.
Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini,
dimaksudkan karena perubahan peraturan mengenai kewarganegaraan dalam sistem
hukum di Indonesia, sehingga menjadi sesuatu yang penting bagi penulis untuk
membahas tentang pengaturan status hukum anak dari hasil perkawinan campuran
(beda kewarganegaraan). Hal ini mengingat banyaknya permasalahan-permasalahan
yang sering muncul dan dihadapi para pasangan yang melakukan perkawinan
campuran, khususnya masalah status hukum anak yang tercatat dan tidak tercatat.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
1. Tinjauan Tentang Perkawinan Campuran
a. Pengertian Perkawinan Campuran
Jika diperhatikan kata-kata yang
dipakai oleh pembuat undang-undang waktu mengadakan interpretasi otentik
mengenai apa yang diartikan dengan istilah perkawinan
campuran[5][5] (gemegde
huwelijk), dipergunakan perumusan yang luas: “Perkawinan dari orang-rang yang
di Indonesia tunduk kepada hukum yang berbeda adalah perkawinan campuran” (huwelijken tusschen personen, die in
Indonesie aan een verschillend recht onderwopen zijn, worden gemegde huwelijken
genoemd).
Menurut Pasal 1 GHR, perkawinan
campuran adalah perkawinan antara ”orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan”.
Pasal 1 GHR memberikan penekanan
pada verschillend rech onderwopen,
yaitu yang takluk pada hukum berlainan. Seperti disebutkan di atas, warisan
stelsel hukum kolonial mengakibatkan pluralisme hukum yang berlaku di
Indonesia, antara lain suku bangsa, golongan, penganut-penganut agama, berlaku
hukum yang berlainan terutama di lapangan hukum perdata. Adapun yang menjadi
pertimbangan pluralisme tersebut bukan karena diskriminatif tetapi justru untuk
dapat memenuhi kebutuhan hukum dari semua golongan yang bersangkutan, terutama
yang, menyangkut hukum perkawinan. Karena faktor perbedaan agama dan
kepercayaan masing-masing pihak, tidak mungkin mengadakan hukum yang seragam.
Sementara itu, Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan
definisi di atas. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal
57 Undang-Undang Perkawinan adalah:
“Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Pasal 57 membatasi makna perkawinan
campuran pada perkawinan antara seorang warganegara RI dengan seorang yang
bukan warga negara RI, sehingga padanya termasuk perkawinan antara sesama warga
negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.
Purnadi Purbacaraka dan Agus
Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut[6][6]:
Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang
mengandung unsur using. Unsur using tersebut bisa berupa seorang mempelai
mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua
mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara
lain atau gabungan kedua-duanya.
1.
Perkawinan
Campuran Antar Golongan (Intergentiel)
Menerangkan hukum mana atau hukum
apa yang berlaku , kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing
sama atau berbeda kewarganegaraanya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang
berlainan, Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2.
Perkawinan
Campuran Antar Tempat (Interlocal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan)
antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya,
orang Batak kawin dengan orang Sunda.
3.
Perkawinan
Antar Agama (Interrelegius)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan)
antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang
berlainan. Misalnya orang Islam dengan orang Kristen.
1. Asas
mengikuti.
Sang istri mengikuti status hukum suami baik pada
waktu perkawinan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan.
2. Asas
persamarataan.
Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi
kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masing-masing (suami dan istri)
bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan.
b. Hubungan Orang Tua dan Anak
Orang tua mempunyai kekuasaan tertentu atas anaknya. Kedua orang tua
mernpunyai kewajiban untuk metnelihara dan mendidik anaknya sebaik mungkin
sampai anak tersebut kawin atau dianggap dapat berdiri sendiri. Begitu pula
sebaliknya, anak harus menghormati dan mentaati kehendak orang tuanya. Orang
tua juga wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Bila terdapat perbedaan kewarganegaraan antara orang tua dan anaknya maka
harus dilakukan pemilihan mengenai hukum yang menentukan status kewarganegaraan
mereka. Menurut Undang-Undang No.62 tahun 1958, status kewarganegaraan anak
akan mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Seorang anak yang ayahnya adalah Warga
Negara Indonesia maka anak tersebut akan menjadi WNI Namun sebaliknya, bila
anak tersebut memiliki ayah yang WNA maka anak tersebut akan mengikuti status
kewarganegaraan bapaknya.
Masalah kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran diatur dalam
Pasal 11 dan 12 Stb. 1898/158. Pasal 11 menyatakan bahwa kedudukan anak yang
lahir dari perkawinan campuran adalah mengikuti kedudukan hukum bapaknya.
Keadaan demikian bahkan tidak dapat dipertikaikan, walaupun surat nikah ayah
ibu mereka ada kekurangan syarat-syarat atau bahkan dalam hal tidak adanya
surat nikah tersebut pun kedudukan anak itu tidak dapat dipertikaikan asalkan
pada lahirnya kedua orang tua mereka itu secara terang hidup sebagai suami
istri (Pasal 12).
Hubungan orang tua dan anak ini termasuk dalam bidang onderlijke macht atau kekuasaan orang tua.
Di Indonesia, hubungan kedua orang tua dan anak ditentukan oleh hukum sang
ayah. Status anak sendiri dibagi dalam 2 bagian, yaitu[9][9]:
a.
Anak yang
sah, yaitu anak yang lahir dalam perkawinan orang tua.
b.
Anak tidak
sah, dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu anak yan lahir dari hubungan incest,
anak yang lahir dari perzinahan, dan anak yang lahir di luar nikah.
2. Tinjauan Tentang Kewarganegaraan
a. Pengertian Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan hubungan
yang paling sering dan kadang-kadang hubungan satu-satunya antara seorang
individu dan suatu negara yang menjamin diberikannya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban individu itu pada hukum internasional. Kewarganegaraan
dapat sebagai etudes keanggotaan kolektivitas individu-individu di mana
tindakan, keputusan dan kebijakan mereka diakui Melalui konsep hukum negara
yang mewakili individ- individu itu.[10][10]
Kewarganegaraan menurut Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 adalah segala ihwal yang
berhubungan dengan warga negara. Hak atas kewarganegaraan sangat penting
artinya karena merupakan bentuk pengakuan asasi suatu negara terhadap warga
negaranya. Adanya status kewarganegaraan ini akan memberikan kedudukan khusus
bagi seorang Warga Negara terhadap negaranya di mana mempunyai hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik dengan negaranya. Indonesia telah
memberikan perlindungan hak anak atas kewarganegaraan yang dicantumkan dalam
Pasal 5 Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana
disebutkan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan.
Dengan adanya hak atas
kewarganegaraan anak maka negara mempunyai kewajiban untuk melindungi anak
sebagai Warga Negaranya dan juga berkewajiban untuk menjamin pendidikan dan
perlindungan hak-hak anak lainnya
b. Prinsip Dasar Kewarganegaraan
1.
Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis
Asas ius soli adalah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut
tempat kelahirannya. Seseorang dianggap berstatus sebagai warga negara dari
negara A karena ia dilahirkan di negara A tersebut. Sementara itu, asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas
keturunan orang yang bersangkutan. Sesorang adalah warga negara A, karena orang
tuanya warga negara A.[11][11] Asas ius sanguinis dianut oleh negara yang
tidak dibatasi oleh lautan seperti Eropa Kontinental dan Cina.
Asas ius soli dianut oleh negara-negara migrasi seperti USA, Australia,
dan Kanada. Untuk sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan
lahirnya anak-anak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah hubungan
dengan negara asal. Namun dalam perjalanannya, banyak negara yang meninggalkan
asas ias soli, seperti Belanda, Belgia dan lain-lain.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang
Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006 lebih memperhatikan asas-asas kewarganegaraan
yang bersifat umum atau universal, yaitu:
1.
Asas ius
sanguinis (law of the blood), adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.
Asas ius
soli (law of the soil) secara terbatas, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang, berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi
anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
3.
Asas
kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.
4.
Asas
kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
2.
Asas Bipatride dan Apatride
Bipatride timbul ketika menurut peraturan-peraturan
tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang sama-sama dianggap
sebagai warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan. Contohnya, pasangan
WNI melahirkan seorang anak di Amerika Serikat (menganut asas ius soli), Status anaknya diakui oleh
hukum Amerika Serikat sebagai Warga Negara Amerika Serikat, tetapi pada saat
yang sama oleh hukum Indonesia juga diakui sebagai WNI.
Apatride terjadi apabila seorang anak yang
negara orang tuanya menganut asas ius
soli lahir di negara yang menganut ius
sungunis. Contohnya, pasangan Warga Negara Amerika Serikat melahirkan anak
di Indonesia. Menurut hukum Amerika Serikat anaknya berkewarganegaraan
Indonesia, tetapi menurut Indonesia, anaknya berkewarganegaraan Amerika Serikat
bukan Indonesia.
3. Tinjauan Tentang Anak
Definisi anak dalam pasal 1 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak adalah:
“Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.”
Anak dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh
orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari
perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki
kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang
berbeda.
Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti
kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak
akan memiliki dua kewarganegaraan.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan
hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang
tuanya sebagai persoalan pendahuluan[12][12],
apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan
ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai
anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal[13][13]. Negara-negara
common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara
civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis)[14][14].
Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala
keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini
adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan,
demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya[15][15].
Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di
negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok
negara-negara sosialis[16][16].
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan
kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga,
bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu
orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang
sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62
tahun 1958[17][17].
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan
yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu
berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan
sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda
kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Tentang
Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran
1.
Pengaturan Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk
menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat
dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[18][18], apakah perkawinan orang
tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau
perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah
yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk
status personal[19][19]. Negara-negara common law
berpegang pada prinsip domisili (ius soli)
sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).[20][20] Umumnya yang dipakai ialah
hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini
adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan,
demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.[21][21] Sistem kewarganegaraan dari
ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya
Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[22][22]
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama
menyatakan kecondongannya pada sistem
hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak
dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap
anak mereka (ouderlijke macht) tunduk
pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU
Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.[23][23]
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan
hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal
kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan
tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya
yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah
umur.
2.
Pengaturan Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal,
dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah. Dalam Pasal 13 ayat (1)
UU No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan:
“Anak
yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah
ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal
dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena
ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa
kewarganegaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan
ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi Warga Negara
Indonesia dan bisa menjadi Warga Negara Asing:
a. Status hukum anak menjadi Warga Negara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara
seorang wanita WNA dengan pria WNI (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka
kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya. Kalaupun Ibu dapat memberikan
kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan
Indonesianya.[24][24] Bila suami meninggal dunia
dan anak-anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi
anak-anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai
negeri) meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun
suami.[25][25]
b. Status hukum anak menjadi Warga Negara Asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara
seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing.[26][26] Anak tersebut sejak
lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di
Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang
harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi
perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3
UU No.62 Tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk
memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan
berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU
No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya
kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum
dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan
ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia
18 tahun atau belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak
memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[27][27]
3.
Pengaturan Status Anak dari Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Pemberlakuan UU No.12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan RI, memunculkan sederet aturan dan petunjuk pelaksanaan itu
rupanya belum membuat urusan kawin campuran selesai seratus persen. Banyak
pasangan yang telah maupun mau melakukan perkawinan campuran masih mengeluhkan
kesulitan yang dihadapi di lapangan. Jumlah anak yang didaftarkan untuk
memperoleh warga negara ganda terbatas. Bisa jadi, keengganan pasangan antar
negara mendaftar karena sosialisasi kurang, pilihan untuk tidak menjadi WNI,
plus prosedur pengurusan yang dirasa panjang, serta menguras tenaga dan uang[28][28].
Pengesahan
Undang-undang Kewarganegaraa No. 12 Tahun 2006 merupakan momentum bersejarah
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kelahiran undang-undang ini memiliki nilai
historis karena produk hukum yang digantikan, yakni Undang-undang No. 62 Tahun
1958 merupakan peninggalan rezim orde lama yang dilestarikan orde baru.
Konfigurasi politik era orde lama dan orde baru relatif otoritarian, cenderung
melahirkan produk hukum konservatif. Sedangkan di era reformasi, karakter
politik cenderung demokratis melahirkan aturan-aturan legal yang responsif.
Perubahan konfigurasi politik inilah yang mengantarkan undang-undang
kewarganegaraan dari yang berwatak konservatif menjadi responsif[29][29].
Perwujudan
demokratisasi negara dalam Undang-undang Kewarganegaraan yang baru tercermin
dari produk hukumnya yang responsif, yakni dalam bentuk persamaan perlakuan dan
kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan
gender. Menurut Undang-undang Kewarganegaraan Tahun 2006 dalam Pasal 2
disebutkan bahwa warga negara asli Indonesia adalah orang Indonesia yang
menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Pasal inilah yang menihilkan
pemojokan terhadap etnik tertentu. Undang-undang ini menyiratkan penolakan
konsep diskriminasi dalam perolehan kewarganegaraan atas dasar ras, etnik, dan
gender, maupun diskriminasi yang didasarkan pada status perkawinan. Dalam pasal
lain juga disebutkan, WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis
mengikuti kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun
untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap menjadi WNI atau melepaskannya.
Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI atau selama masa
tenggang waktu tiga tahun itu, ia bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di
Indonesia[30][30].
Bagian
yang paling penting dari undang-undang baru ini adalah dianutnya asas campuran Ius
Sanguinis - Ius Solli dan mengakui kewarganegaraan ganda pada
anak-anak dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di
luar negeri hingga usia 18 tahun. Artinya sampai anak berusia 18 tahun,
diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut ditambah
tenggang waktu tiga tahun barulah si anak diwajibkan memilih salah satunya.
Ketentuan inilah yang menghindari terjadinya stateless.
Undang-Undang kewarganegaraan UU No. 12 Tahun 2006
ini memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang
dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[31][31]
a. Asas ius
sanguinis (law of the blood)
adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan,
bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
b. Asas ius soli
(law of the soil) secara terbatas
adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat
kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
c. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang
menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria
WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI,
sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.[32][32]
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan
setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan
pilihannya.[33][33] Pernyataan untuk memilih
tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18
tahun atau setelah kawin.[34][34]
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan
baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu
ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan
baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk
pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata
internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia
menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B.
(mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk
status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar
negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya,
tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia,
sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam
wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang
hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.[35][35] Dalam jurisprudensi
indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan
perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan
perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.[36][36]
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional,
kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal
penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang
anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan
antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak
ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang
satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti
kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas
ketertiban umum[37][37] pada ketentuan negara yang
lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut
hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika
seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah[38][38] maka harus memuhi kedua
syarat tersebut. Syarat materil[39][39] harus mengikuti hukum
Indonesia sedangkan syarat formil[40][40] mengikuti hukum tempat
perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya
sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum
Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan
hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan,
lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
B. Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Campuran Yang Tidak Tercatat
Pembuktian keturunan harus dilakukan
dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak
mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal
saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan adanya hubungan seperti antara
anak dengan orang tuanya. Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu,
harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu.
Ibu si anak yang disangkal itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang
keadaan mengenai anak itu dan juga paling mempunyai kepentingan, haruslah
dipanggil di muka hakim. Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan
“natuurlijk kind” la dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita
hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah
resmi.
Masalah anak sah diatur di dalam
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 42, 43 dan 44.
Pasal 42:
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43:
1.
Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
2.
Kedudukan
anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 44:
1.
Seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia
dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari
perzinaan tersebut.
2.
Pengadilan memberikan
keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Berkenaan dengan pembuktian
asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan di dalam pasal 55 menegaskan:
1.
Asal usul
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2.
Bila akte
kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3.
atas dasar
ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Di dalam pasal-pasal di atas ada
beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat
perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:
a.
Anak sah
lahir akibat perkawinan yang sah
b.
Anak yang
lahir dalam perkawinan yang sah.
Pemberlakuan UU No.12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan RI, memunculkan sederet aturan dan petunjuk pelaksanaan itu
rupanya belum membuat urusan kawin campuran selesai seratus persen. Banyak
pasangan yang telah maupun mau melakukan perkawinan campuran masih mengeluhkan
kesulitan yang dihadapi di lapangan. Jumlah anak yang didaftarkan untuk
memperoleh warga negara ganda terbatas. Bisa jadi, keengganan pasangan antar
negara mendaftar karena sosialisasi kurang, pilihan untuk tidak menjadi WNI,
plus prosedur pengurusan yang dirasa panjang, serta menguras tenaga dan uang.
Keengganan para pasangan antar negara ini untuk
mendaftarkan perkawinan ke Catatan Sipil maupun KUA. Namun, pemerintah masih memberikan toleransi bagi anak dari hasil perkawinan
campuran yang tidak tercatat setelah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan. Toleransi diberikan untuk memberikan waktu mencatatkan status
kewarganegaraan atau menentukan opsi kewarganegaraan. Batas waktu pendaftaran status
kewarganegaraan Indonesia bagi anak-anak hasil perkawinan campuran ke Depkumham
adalah 1 Agustus 2010. Kalau tak sempat daftar, pintu masih terbuka. Sebelum
Undang-undang Kewarganegaraan direvisi, anak yang lahir dari istri WNI dan ayah
WNA, sebelum umur 18 tahun akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Setelah
Undang-Undang Kewarganegaraan 2006 berlaku, anak-anak yang lahir dari hasil
perkawinan antar negara itu dapat memiliki kewarganegaraan ganda terbatas.
Aturan itu dilengkapi dengan Peraturan Menteri (Permen) nomor M.01-HL.03.01
yang terbit pada 2006. Permenkumham tadi masih diperjelas pula lewat Surat
Edaran Menkumham No.M.09-IZ.03.01 tentang fasilitas Keimigrasian bagi Anak
Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang lahir sebelum 2006.
Apabila,
sampai tenggat waktu 1 Agustus 2010 anak-anak hasil perkawinan campuran ini
tidak didaftarkan ke Depkumham, maka mereka akan kehilangan hak menjadi WNI
sebagai suatu konsekuensi. Mereka akan diperlakukan sebagai WNA yang izin
tinggalnya memakai KITAS dan masuk ke Indonesia memakai Visa.
Seandainya,
ibu-ibu tidak mendaftarkan anaknya jadi WNI sampai 2010, maka anaknya akan
tetap meneruskan perpanjangan KITAS atau KITAP. Posesnya pakai re-entry permit,
buku biru, sama seperti bapaknya. Selama anak tersebut berstatus WNA, ia tidak
masuk yurisdiksi Indonesia. Jadi kalau anaknya di luar negeri, tidak bisa masuk
KBRI untuk minta perlindungan.
Penutup
1. Kesimpulan
Anak adalah subjek hukum yang belum
cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua
atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil
perkawinan campuran dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak
dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas
untuk anak hasil perkawinan campuran. Dimana anak dari hasil perkawinan
campuran mendapat hak untuk menentukan atau memilih kewarganegaraan. Hak
tersebut diberikan jika telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan setelah
berusia 18 tahun.
Ketentuan yang mengatur untuk
memilih kewarganegaraan kepada anak hasil perkawinan campuran diberikan hanya
pada anak yang tercatat atau didaftarkan di Kantor Imigrasi. Sedangkan yang
tidak terdaftar tidak mendapatkan hak-hak seperti yang dinyatakan dalan UU
No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Meskipun begitu berdasarkan Keputusan
Menteri Depkumhum memberikan kelonggaran untuk melakukan naturalisasi sebelum
Undang-Undang Kewarganegaraan direvisi, yaitu batas waktu pendaftaran.
Daftar Pustaka
1. Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin,
Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia,
Jilid III Bagian I (Buku ke-7), Penerbit Alumni, Bandung, 1995.
J.G. Starke, Pengatar Hukum Internasional, Edisi
Kesembilan, Akasara Persada, Jakarta, 1989.
Purnadi Purbacaraka dan Agus
Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi,
Raja Grafindo Persada, Jakartaa, 1997.
Sri
Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum
Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.
2. Internet
Nuning Hallet, Mencermati
Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php
mod=publisher&op=viewarticle&artid=51, diakses 29 Maret 2011.
http://norickyujustice.blogspot.co.id/2011/04/status-hukum-anak-dari-hasil-perkawinan.html
Suwarningsih, Kawin campur
Menyebabkan Berubahnya Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan RI.
www.baliprov.go.id. 20 Februari 2008 (diakses pada tanggal 29 Maret 2011)
Mixed Couple
Indonesia, Masalah
yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan campuran,
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46,
diakses 29 Maret 2011.
3. Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 62 Tahun
1958 tentang Kewarganegaraan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan
[1][1] Nuning
Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php
mod=publisher&op=viewarticle&artid=51, diakses 29 Maret 2011.
[2][2] Suwarningsih, Kawin campur Menyebabkan
Berubahnya Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan RI. www.baliprov.go.id.
20 Februari 2008 (diakses pada tanggal 29 Maret 2011)
[3][3] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku
ke-7), (Bandung. Alumni1995, hlm. 38)
[5][5] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku
ke-7), (Bandung, Alumni, 1995, hlm. 212)
[6][6] Purnadi Purbacaraka, Agus
Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata
Internasional Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.
36)
[7][7] Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara (Jakarta,
Prestasi Pustaka Publiser, 2006,Hlm. 242)
[10][10] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesembilan (Jakarta, Aksara
Persada, 1989, Hlm. 125)
[11][11] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009, hlm. 386)
[13][13] Status Personal adalah kelompok kaidah-kaidah
yang mengikuti seseorang di mana pun ia pergi. Sudargo Gautama, Op.cit.
[18][18] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku
ke-7), (Bandung, Alumni, 1995, hlm. 86)
[19][19] Status
Personal adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang di mana pun ia
pergi. Sudargo Gautama, Op.cit.
[24][24] Lihat Pasal 15 ayat (2) dan 16 ayat (1) Undang-Undang
No.62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan.
[25][25] Mixed
Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan
campuran,
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46,
diakses 29 Maret 2011.
[26][26] Anak yang lahir dari perkawinan seperti ini
tidak termasuk dalam definisi warga negara yang tercantum dalam Pasal 1 UU
No.62 Tahun 1958, sehingga dapat digolongkan sebagai warga negara asing.
Indonesia menganut asas ius sanguinis,
kewarganegaraan anak mengikuti orang tua, yaitu bapak.
[28][28] Mixed
Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan
campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46,
diakses 29 Maret 2011.
[29][29] Suwarningsih, Kawin campur Menyebabkan
Berubahnya Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan RI. www.baliprov.go.id. 20
Februari 2008 (diakses pada tanggal 29 Maret 2011)
[30][30] Bagian yang paling penting dari undang-undang
baru ini adalah dianutnya asas campuran antara Ius Sanguinis dan Ius Solli.
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesembilan
(Jakarta: Aksara Persada, 1989, Hlm. 125).
[37][37] Ketertiban umum dapat diartikan sebagai
sendi-sendi azasi hukum nasional sang hakim. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional
Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1977, hlm.133)
[38][38] Karena belum berusi 18 tahun ia belum memilih
kewarganegaraannya, sedangkan pemilihan kewarganegaraan berdasar Pasal 6 Undang-Undang
No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan yang baru dilakukan sesudah
perkawinan, bukan sebelum.
[39][39] Syarat materiil adalah syarat yang menyangkut
pribadi calon mempelai dan larangan-larangan menikah.
[40][40] Syarat formil adalah syarat yang menyangkut
formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat formil
biasanya terkait dengan urusan administrasi perkawinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar